BUDAYA TAREKAT; ANTARA BID'AH DAN AJARAN RASULULLAH

Oleh : M. Mahmud Kamiluddin*

Adakalanya beberapa kalangan menganggap bahwa tarekat tasawuf merupakan ajaran baru dalam Islam yang mengandung banyak bid’ah dan khurofat, serta telah keluar dari syari’ah yang telah diajarkan oleh Rasulullah. Bahkan ada yang menuding tasawuf sebagai ajaran yang bertanggungjawab atas kemunduran dunia Islam saat ini.

Sedangkan bid’ah adalah segala perkara yang dibuat-buat dalam agama yang sama sekali tidak memiliki dasar dalam syari’ah. Sebagaimana sabda Rasulullah “Jauhilah perkara-perkara baru, karena setiap perkara baru adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah kesesatan, dan setiap kesesatan masuk dalam Neraka” (HR. Abu Daud dan At-Tirmidzi).

Apakah tuduhan ini tidak terlalu berlebihan? Apakah semua yang melakukan tarekat dianggap telah melakukan bid'ah? Tentunya hal ini tidaklah benar. Memang Tidak dapat dipungkiri ada beberapa tarekat yang memang meninggalakan syari’ah, menggantinya dengan hal-hal yang bernuansa bid’ah dan khurofat, namun tidak semuanya seperti itu. Istilah tarekat yang sangat dekat sekali di dunia pesantren, banyak diikuti dan diamalkan oleh para Kyai dan Santri. Ada banyak tarekat yang tetap bertumpu pada syari’at dan tetap berpegang teguh pada contoh-contoh ibadah yang ma’tsur dari Rasulullah saw. Dalam sejarah, Rasulullah juga sosok yang Wara', Zuhud, dan juga gemar melakukan 'Uzlah, yang juga dilakukan oleh kaum sufi sebagai pelaku tarekat.

Tarekat berasal dari bahasa Arab Thariqat yang berarti 'jalan atau cara'. Dalam ajaran tasawuf, tarekat adalah 'jalan yang harus ditempuh oleh seorang salik menuju Tuhan yakni dengan mensucikan diri sehingga dapat mengenal, dan merasakan kedekatan yang sebenarnya dengan Allah SWT dalam hidupnya'. Penulis berpendapat bahwa tarekat adalah sebuah jalan yang dilakukan oleh seseorang guna mengenal dan mendekatkan diri pada Allah, dengan melakukan berbagai metode yang telah disyari’ahkan oleh agama sesuai dengan tuntunan Rasulullah, kemudian melakukan latihan-latihan guna mengasah jiwa agar terus terpatri dan tertuju hanya pada Allah semata 'riyadhoh', sehingga semua syari’ah yang dilakuan memiliki ruh dan tak sekedar menjadi sebuah ritual tanpa makna.

Tujuannya untuk memperoleh pengetahuan tentang Allah, merasakan kedekatan dengan-Nya serta memperoleh kebahagiaan sejati dengan mencintai Allah dengan ikhlas. Selain itu tarekat juga diharapkan menjadi jalan yang akan mampu mengantarkan manusia pada kesucian hati, jiwa serta pikirannya hingga mampu menyingkap tabir dan menangkap hikmah yang diberikan serta diturunkan Allah dalam hati manusia yang dikehendaki-Nya.

Kaum sufi beranggapan bahwa untuk mencapai kedekatan dengan Allah, harus melewati beberapa tingkatan, yaitu (1) Takhalli, sebuah usaha untuk membersihkan diri dari sifat-sifat yang tercela baik lahir maupun batin. (2) Tahalli, mengisi diri dengan sifat-sifat yang terpuji lahir dan batin. (3) Tajalli, memperoleh ma'rifah tentang tuhan.

Metode dalam menjalani tarekat adalah dengan waspada dan berhati-hati. Diantara sikap hati-hati itu adalah wara', yaitu berusaha untuk tidak melakukan hal-hal yang bersifat syubhat (sesuatu yang diragukan halal haramnya).

Wara’ sendiri memiliki beberapa tingkatan, tingkat yang terendah wara'ul 'adl (wara' orang yang adil) yakni meninggalkan suatu perbuatan sesuai dengan ajaran fiqh. Tingkat di atasnya Wara'ush Shâlihîn (wara' orang-orang saleh), yakni menjauhkan diri dari semua perkara syubhat. Tingkatan selanjutnya, Wara'ul Muttaqqîn (wara' orang-orang yang takwa), yakni meninggalkan perbuatan yang sebenarnya dibolehkan 'mubah', karena kuatir kalau-kalau membahayakan, mengganggu keimanan. Selanjutnya tingkat yang tertinggi, Wara'ush Shiddiqqîn (wara' orang-orang yang jujur), yakni menghindari sesuatu walaupun tidak berbahaya tetapi dirasa mengandung syubhat.

Metode lain yang dilakukan kaum sufi dalam mensucikan diri, hingga mencapai kedekatan kepada Allah antara lain dengan Tajarrud 'melepaskan diri dari godaan dan ikatan dunia', 'Uzlah 'mengasingkan dan menyisihkan diri dari pergaulan dengan masyarakat ramai', Faqr 'tidak memiliki harta', Dawamus Sukut 'tidak mengatakan dan mengeluarkan kata-kata yang tidak bermanfaat diganti dengan memperbanyak dzikir dan istigfar', Qillatul Akli 'sedikit makan', Dawamus Sahr 'berjaga dan tidak tidur diwaktu malam dangan memperbanyak ibadah', Safar 'berkelana dengan tujuan mengharap ridho Allah'.

Tarekat yang memenuhi syarat dan bersumber dari petunjuk Rasulullah serta berpijak pada syari’ah yang benar disebut tarekat mu'tabarah dan tarekat ini dibenarkan. Sedangkan yang tidak memenuhi syarat apalagi yang tidak mengamalkan tuntunan syariat atau mempunyai keyakinan yang menyimpang dari aqidah, inilah tarekat yang sesat atau bid'ah serta harus dijauhi dan tinggalkan. Jadi tidak semua tarekat atau tasawuf itu bid'ah. Wallahu A'lam bis Shawwab.