BAB I
KATA PENGANTAR
KATA PENGANTAR
Al-hamdulillah dalam tugas akademik materi Penelitian Kualitatif ini saya diberi kesempatan untuk me-review sebuah disertasi, Tesis ataupun Sekripsi yang dibukukan sebagai latihan untuk menyusun sekripsi yang akan datang.
Buku yang saya review ini membahas tentang perbandingan antara dua filosuf etika terkemuka. Buku ini adalah karya orang pribumi yaitu Prof. Dr. M. Amin Adullah yang merupakan gubahan dari disertasinya yang berjudul The Idea of University of Ethical Norms in Ghazali and Kant, yang pernah diterbitkan pada 1992 di Turki. Buku ini diterbitkan oleh Penerbit mizan pada tahun 2002 dan diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia oleh Drs. Hamzah, M.Ag., dengan judul Antara Al-Ghazali dan Kant: Filsafat Etika Islam.
Menurut Haidar Bagir, karya ini merupakan sebuah “inovasi” berani yang dilakukan oleh penulisnya (M. Amin Abdullah), bukan saja dalan hal gugatannya terhadap al-Ghazali–salah seorang ulama terbesar disepanjang sejarah Islam–melainkan juga terhadap pendekatan dogmatis, tradisional, dan ta’bbudi dalam pemikiran Islam pada umumnya.
Semoga dengan penulisan review ini dapat memberi kontribusi bagi saya untuk bisa lebih memahami bagaimana cara menulis karya ilmiah dengan benar dan dapat lebih memahami isi kandungan yang terdapat dalam buku ini.
Buku yang saya review ini membahas tentang perbandingan antara dua filosuf etika terkemuka. Buku ini adalah karya orang pribumi yaitu Prof. Dr. M. Amin Adullah yang merupakan gubahan dari disertasinya yang berjudul The Idea of University of Ethical Norms in Ghazali and Kant, yang pernah diterbitkan pada 1992 di Turki. Buku ini diterbitkan oleh Penerbit mizan pada tahun 2002 dan diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia oleh Drs. Hamzah, M.Ag., dengan judul Antara Al-Ghazali dan Kant: Filsafat Etika Islam.
Menurut Haidar Bagir, karya ini merupakan sebuah “inovasi” berani yang dilakukan oleh penulisnya (M. Amin Abdullah), bukan saja dalan hal gugatannya terhadap al-Ghazali–salah seorang ulama terbesar disepanjang sejarah Islam–melainkan juga terhadap pendekatan dogmatis, tradisional, dan ta’bbudi dalam pemikiran Islam pada umumnya.
Semoga dengan penulisan review ini dapat memberi kontribusi bagi saya untuk bisa lebih memahami bagaimana cara menulis karya ilmiah dengan benar dan dapat lebih memahami isi kandungan yang terdapat dalam buku ini.
BAB II
ASPEK YANG DI REVIEW
A. KONTEKS DAN FOKUS PENELITIANASPEK YANG DI REVIEW
Segala macam tindakan yang dilakukan oleh manusia selalu bersangkut paut dengan baik dan buruk, pantas ataukah tidak pantas dilakukan. Karena semua manusia pada dasarnya–baik muslim ataupun tidak–memiliki pengetahuan fitri tentang baik dan buruk. Setiap tindakan yang dilakukan oleh sekelompok manusia (Desa, Daerah, Negara, Keyakinan Keagamaan, dll) baik, belum tentu baik juga bagi kelompok manusia yang lain. Bahkan ada sebagian tokoh khususnya disni adalah tokoh posmodernisme memandang bahwa kebenaran bersifat relatif, terhadap waktu, budaya tempat dan sebagainya. Hal inilah yang biasa dikenal orang sebagai “Etika”
Banyak orang yang mengidentikkan Etika dengan Moral (Moralitas). Keduanya sama-sama terkait dengan baik-buruknya tindakan manusia, namun diantara etika dan moral memiliki perbedaan pengertian. Secara singkat dapat dipahami bahwa moral lebih condong kepada pengertian “nilai baik dan buruk dari setiap perbuatan manusia itu sendiri”, sedangkan etika memiliki pengertian “ilmu yang mempelajari tentang baik dan buruk”. Jadi, bisa dikatakan, etika berfungsi sebagai teori dari perbuatan baik dan buruk (ethics atau ‘ilmu al-akhlaq), dan moral (akhlaq) adalah prakteknya. Dalam filsafat, terkadang etika disamakan dengan filsafat moral.
Tindakan etis dipercaya pada puncaknya akan menghasilkan kebahagiaan bagi pelakunya. Selain itu tindakan etis juga bersifat rasional. Islam sangat percaya kepada rasionalitas sebagi alat dalam mendapatkan kebenaran. Disinilah Kant bersesuaian dengan Al-Ghazali. Keduanya lebih menekankan pada faktor kewajiban–yang satu berdasarkan nalar praktis dan yang lainnya berdasarkan wahyu–sebagai sumber tindakan etis. Keduanya pun sepakat bahwa etika lebih primer daripada metafisika. Namun Kant mendekati etika secara lebih rasional dan anallitis (ilmah) sementara Al-Ghazali lebih dogmatis.
Sistem pemikiran Al-Ghazali dan Kant dibahas dimana-mana hingga saat ini oleh banyak sarjana dan kritisi baik dalam jurnal dan buku-buku. Karena itulah penulis (M. Amin Abdullah) merasa perlu mendiskusikan mengapa kedua filosuf tersebut perlu untuk diteliti dalam konteks kajian ini. Kajian sekarang ini membawa mereka ke dalam suatu konteks penelitian dan dibawah fokus perhatian yang sama.
Kajian-kajian etika Kantian dan kajian-kajian etika Al-Ghazalian yang disusun secara tersendiri mengenai kedua filosuf besar itu sangat banyak. Namun kajian-kajian filosofis yang mencoba menekankan “penelitian kritis” dan “pertentangan kritis” antara kedua sistem pemikiran, khusunya pemikiran etika mereka dalam rangka melihat implikasi dan konsekuensinya, sangat jarang.
Adapun penelitian yang dilakukan oleh Amin Abdullah difokuskan kepada pertama, etika yang dibangun berdasarkan kritik atas Metafisika-dogmatik yang membahas tentang kritik Kantian atas rasio murni, kritik Al-Ghazali atas Islamic Aristotelianism, kausalitas dalam hubungannya dengan persoalan etika, dan penyatuan kembali antara Al-Ghazali dan Kant. Kedua, Masalah etika rasional dan religius yang mendiskusikan tentang etika sebagai ilmu rasional, etika berdasarkan kepada wahyu, Absolutisme dan Relatifisme dalam etika. Ketiga, Implikasi dan konsekuensi pemikiran etika Al-Ghazali dan Kant. Disini dibahas tentang pendekatan metodologis yang berbeda, dua tipe pemikiran antara Al-Ghazali dan Kant, menuju dialog intra dan antar budaya.
Demikianlah hal-hal yang akan diteliti oleh penulis, agar penelitian lebih terfokus kepada komparasi antara pemikiran etika Al-Ghazali dan Kant.
Banyak orang yang mengidentikkan Etika dengan Moral (Moralitas). Keduanya sama-sama terkait dengan baik-buruknya tindakan manusia, namun diantara etika dan moral memiliki perbedaan pengertian. Secara singkat dapat dipahami bahwa moral lebih condong kepada pengertian “nilai baik dan buruk dari setiap perbuatan manusia itu sendiri”, sedangkan etika memiliki pengertian “ilmu yang mempelajari tentang baik dan buruk”. Jadi, bisa dikatakan, etika berfungsi sebagai teori dari perbuatan baik dan buruk (ethics atau ‘ilmu al-akhlaq), dan moral (akhlaq) adalah prakteknya. Dalam filsafat, terkadang etika disamakan dengan filsafat moral.
Tindakan etis dipercaya pada puncaknya akan menghasilkan kebahagiaan bagi pelakunya. Selain itu tindakan etis juga bersifat rasional. Islam sangat percaya kepada rasionalitas sebagi alat dalam mendapatkan kebenaran. Disinilah Kant bersesuaian dengan Al-Ghazali. Keduanya lebih menekankan pada faktor kewajiban–yang satu berdasarkan nalar praktis dan yang lainnya berdasarkan wahyu–sebagai sumber tindakan etis. Keduanya pun sepakat bahwa etika lebih primer daripada metafisika. Namun Kant mendekati etika secara lebih rasional dan anallitis (ilmah) sementara Al-Ghazali lebih dogmatis.
Sistem pemikiran Al-Ghazali dan Kant dibahas dimana-mana hingga saat ini oleh banyak sarjana dan kritisi baik dalam jurnal dan buku-buku. Karena itulah penulis (M. Amin Abdullah) merasa perlu mendiskusikan mengapa kedua filosuf tersebut perlu untuk diteliti dalam konteks kajian ini. Kajian sekarang ini membawa mereka ke dalam suatu konteks penelitian dan dibawah fokus perhatian yang sama.
Kajian-kajian etika Kantian dan kajian-kajian etika Al-Ghazalian yang disusun secara tersendiri mengenai kedua filosuf besar itu sangat banyak. Namun kajian-kajian filosofis yang mencoba menekankan “penelitian kritis” dan “pertentangan kritis” antara kedua sistem pemikiran, khusunya pemikiran etika mereka dalam rangka melihat implikasi dan konsekuensinya, sangat jarang.
Adapun penelitian yang dilakukan oleh Amin Abdullah difokuskan kepada pertama, etika yang dibangun berdasarkan kritik atas Metafisika-dogmatik yang membahas tentang kritik Kantian atas rasio murni, kritik Al-Ghazali atas Islamic Aristotelianism, kausalitas dalam hubungannya dengan persoalan etika, dan penyatuan kembali antara Al-Ghazali dan Kant. Kedua, Masalah etika rasional dan religius yang mendiskusikan tentang etika sebagai ilmu rasional, etika berdasarkan kepada wahyu, Absolutisme dan Relatifisme dalam etika. Ketiga, Implikasi dan konsekuensi pemikiran etika Al-Ghazali dan Kant. Disini dibahas tentang pendekatan metodologis yang berbeda, dua tipe pemikiran antara Al-Ghazali dan Kant, menuju dialog intra dan antar budaya.
Demikianlah hal-hal yang akan diteliti oleh penulis, agar penelitian lebih terfokus kepada komparasi antara pemikiran etika Al-Ghazali dan Kant.
B. ACUAN TEORI DAN TELAAH PUSTAKA
Disertasi yang ditulis oleh Amin Abdullah ini mengungkapkan tentang perbedaan dan persamaan teori etika antara dua tokoh filosof besar Al-Ghazali dan Imanuel Kant serta konsukuensi-konsekuensinya.
Al-Ghazali dan Kant sama-sama menganggap bahwa etika lebih unggul atas metafisika. Dari studi yang cermat atas pemikiran filsafat mereka, dapat diketahui bahwa Al-Ghazali dan Kant memiliki jalur utama yang sama. Bahkan rangkaian kronologis dalam cara mereka meletakkan ide-ide utama mereka sama. Al-Ghazali berangkat dengan Tahafut ketika mengkritik metafisika dan berakhir dengan Ihya’ ketika membangun etika mistiknya, sedangkan Kant memulai dengan Kritik Der Reinen Vernuft untuk mengkritik metafisika spekulatif-dogmatik dan berakhir dengan Metaphysik der Sitten dan karya-karya terkait lainnya untuk mengkontruksikan bangunan utama teori etika rasionalnya. Al-Ghazali dan Kant juga sepakat dalam menekankan keunggulan etika atas metafisika.
Selain itu ada juga perbedaan-perbedaan diantara mereka yang berasal dari pendekatan metodologis terhadap masalah. Al-Ghazali menggunakan metode hipotesis, sementara Kant memanfaatkan metode analitis. Al-Ghazali tidak memiliki konsepsi yang “teliti” terhadap ilmu-ilmu rasional. Karena Al-Ghazali lebih menekankan pada ilmu-ilmu agama, sedangkan bagi Kant keduanya (Ilmu-ilmu agam dan ilmu-ilmu rasional) adalah penting.
Contoh yang menonjol dari kerancuan sikap Al-Ghazali terhadap ilmu-ilmu rasional adalah konsepsinya mengenai hukum kausalitas. Konsepsinya bagitu kabur karena dia menderita “ketegangan teologis” yang serius. Dia mempertahankan kedaulatan tuhan atas seluruh fenomena alamiah dan fenomena moral dan menggarisbawahi kehendak mutlak tuhan. Sedangkan Kant dapat menguraikan ketegangan teologis ini tanpa harus menghilangkan kontak dengan esensi dasar pengalaman keagamaan, untuk tidak menggunakan terma teologi spekulatif.
Penetapan Al-Ghazali dalam wilayah moralitas jauh lebih menonjol. Jika Kant, melalui penerapan fungsi konstritutif akal budi, dengan mudah dapat merumuskan hubungan antara keutamaan dan kebahagiaan sebagai hubungan kausal yang di dalamnya peran subyek aktif dominan, Al-Ghazali tidak dapat melihatnya dari perspektif serupa.
Dari sudut pandang teologis Al-Ghazali, ide tentang akhlaq atau etika hanya terkungkung dalam ruang lingkup terbatas dari ide ”normatif”. Akhlaq tidak lebih dari wacana tentang “baik” dan “buruk” yang semata-mata berdasarkan perspektif teologis. Sebaliknya, Kant dapat mengatasi kesulitan ini. Baginya, moralitas atau etika bukanlah tanpa tatanan. Dia dengan jelas berkata bahwa pada esensinya moralitas merupakan hukum. Bahkan, ia adalah hukum universal yang mengikat seluruh manusia rasional.
Etika mistik (religius) Al-Ghazali hanya dimaksudkan untuk menyelamatkan nasib individu di akhirat dan perhatian tertingginya adalah melihat tuhan. Dia tidak memiliki konsepsi mengenai kehidupan “sosial” secara umum, dan ini dapat dicapai hanya melalui penyucian “hati” dan hidup “menyendiri”. Sedangkan etika filosofis mencoba menemukan “prinsip dasar” yang tertanam dalam setiap budaya akan memiliki nilai dan manfaat yang besar untuk mereduksi potensi konflik sosial dan ketegangan internal dalam diri kita.
Akhirnya penulis mengungkapkan bahwa untuk menyelamatkan manusia dari keadaan terperangkap dalam keterpecahan kepribadian memerlukan adanya “kerja sama” antara “etika wahyu” Al-Ghazali dan “etika rasional” Kant.
Al-Ghazali dan Kant sama-sama menganggap bahwa etika lebih unggul atas metafisika. Dari studi yang cermat atas pemikiran filsafat mereka, dapat diketahui bahwa Al-Ghazali dan Kant memiliki jalur utama yang sama. Bahkan rangkaian kronologis dalam cara mereka meletakkan ide-ide utama mereka sama. Al-Ghazali berangkat dengan Tahafut ketika mengkritik metafisika dan berakhir dengan Ihya’ ketika membangun etika mistiknya, sedangkan Kant memulai dengan Kritik Der Reinen Vernuft untuk mengkritik metafisika spekulatif-dogmatik dan berakhir dengan Metaphysik der Sitten dan karya-karya terkait lainnya untuk mengkontruksikan bangunan utama teori etika rasionalnya. Al-Ghazali dan Kant juga sepakat dalam menekankan keunggulan etika atas metafisika.
Selain itu ada juga perbedaan-perbedaan diantara mereka yang berasal dari pendekatan metodologis terhadap masalah. Al-Ghazali menggunakan metode hipotesis, sementara Kant memanfaatkan metode analitis. Al-Ghazali tidak memiliki konsepsi yang “teliti” terhadap ilmu-ilmu rasional. Karena Al-Ghazali lebih menekankan pada ilmu-ilmu agama, sedangkan bagi Kant keduanya (Ilmu-ilmu agam dan ilmu-ilmu rasional) adalah penting.
Contoh yang menonjol dari kerancuan sikap Al-Ghazali terhadap ilmu-ilmu rasional adalah konsepsinya mengenai hukum kausalitas. Konsepsinya bagitu kabur karena dia menderita “ketegangan teologis” yang serius. Dia mempertahankan kedaulatan tuhan atas seluruh fenomena alamiah dan fenomena moral dan menggarisbawahi kehendak mutlak tuhan. Sedangkan Kant dapat menguraikan ketegangan teologis ini tanpa harus menghilangkan kontak dengan esensi dasar pengalaman keagamaan, untuk tidak menggunakan terma teologi spekulatif.
Penetapan Al-Ghazali dalam wilayah moralitas jauh lebih menonjol. Jika Kant, melalui penerapan fungsi konstritutif akal budi, dengan mudah dapat merumuskan hubungan antara keutamaan dan kebahagiaan sebagai hubungan kausal yang di dalamnya peran subyek aktif dominan, Al-Ghazali tidak dapat melihatnya dari perspektif serupa.
Dari sudut pandang teologis Al-Ghazali, ide tentang akhlaq atau etika hanya terkungkung dalam ruang lingkup terbatas dari ide ”normatif”. Akhlaq tidak lebih dari wacana tentang “baik” dan “buruk” yang semata-mata berdasarkan perspektif teologis. Sebaliknya, Kant dapat mengatasi kesulitan ini. Baginya, moralitas atau etika bukanlah tanpa tatanan. Dia dengan jelas berkata bahwa pada esensinya moralitas merupakan hukum. Bahkan, ia adalah hukum universal yang mengikat seluruh manusia rasional.
Etika mistik (religius) Al-Ghazali hanya dimaksudkan untuk menyelamatkan nasib individu di akhirat dan perhatian tertingginya adalah melihat tuhan. Dia tidak memiliki konsepsi mengenai kehidupan “sosial” secara umum, dan ini dapat dicapai hanya melalui penyucian “hati” dan hidup “menyendiri”. Sedangkan etika filosofis mencoba menemukan “prinsip dasar” yang tertanam dalam setiap budaya akan memiliki nilai dan manfaat yang besar untuk mereduksi potensi konflik sosial dan ketegangan internal dalam diri kita.
Akhirnya penulis mengungkapkan bahwa untuk menyelamatkan manusia dari keadaan terperangkap dalam keterpecahan kepribadian memerlukan adanya “kerja sama” antara “etika wahyu” Al-Ghazali dan “etika rasional” Kant.
C. PROSEDUR METODOLOGI
Dalam disertasinya penulis menggunakan study komparatif, dengan subyek etika yang bertujuan untuk menjelaskan konsep etika sebagaimana yang telah dirumuskan oleh filsafat Al-Ghazali dan Immanuel Kant, untuk menunjukkan perbedaan-perbedaan, persamaan-persamaan, dan konsekuensi-konsekuensinya.
Penulis mengklaim bahwa perbedaan-perbedaan dan persamaan-persamaan antara kedua tokooh tersebut sangat perlu untuk diteliti dan dikaji dengan seksama, bukan berarti mencari perbedaan-perbedaan dan persamaan-persamaan itu sendiri, tetapi lebih dari itu untuk melihat implikasi-implikasi dan konsekuensi-konsekuensinya dalam membangun sistem secara keseluruhan. Penulis menemukan bahwa penting untuk mengkaji konsepsi Al-Ghazali dan Kant tentang etika dari sudut pandang kritis.
Dalam kajian ini penulis mencoba menjelaskan ide-ide fundamental mengenai pemikiran etika kedua pemikir, yang melampaui batas-batas historis, kedaerahan, atau bahkan keagamaan. Atau dengan kata lain tanpa memandang agama, ras, dan nasionalitas mereka. Tapi bukan berarti menghapus aspek historis sama sekali karena tidak boleh tidak bahwa hal tersebut dapat mempengaruhi pemikiran mereka. Dalam hal ini penulis berbagi pandangan dengan Macintyre bahwa kajian tentang kajian-kajian fundamental tidak dapat dipisahkan dari sosiologi ataupun antropologi.
Disamping itu, ide-ide fundamental Al-Ghazali dan Kant tentang etika masih sering dikaji oleh masyarakat sampai sekarang. Oleh karena itulah penulis yakin bahwa sangat mungkin untuk mangadakan kajian komparatif dan pertentangan kritis antara dua filosof yang hidup dalam latar belakang historis yang berbeda.
Dalam penelitian ini, penulis mengikuti langkah dan prosedur Al-Ghazali secara kritis. Penulis mendiskusikan persoalan kausalitas dalam hubungannya dengan persoalan etika secara langsung sesudah mendiskusikan argumen Al-Ghazali dalam menolak doktrin metafisika rasional. Selanjutnya, akan mengelaborasi konsepsi etika Al-Ghazali, yang bercorak mistik. Selanjutnya penulis akan menelusuri prosedur Kant seperti yang dilakukan terhadap Al-Ghazali. kemudian penulis menggabungkan keduanya untuk menemukan perspektif baru tentang etika.
Penulis memulai dengan pembahasan tentang kritik A-Ghazali dan Kant terhadap metafisika-dogmatik-spekulatif untuk melihat kemungkinan mengontruksi teori etika mereka (Bab 2).
Kemudian mendiskusikan persoalan-persoalan yang muncul ketika teori etika mereka dikontruksikan berdasarkan basis kesadaran religius yang sama (Bab 3).
Setelah itu penulis akan mengungkapkan pengujian kritis terhadap kedua sistem etika ini untuk melihat relevansi dan keterandalan argumentasinya dipandang dari wacana etika yang tengah berkembang saat ini, yang menghubungkan secara ketat persoalan etika dengan persoalan bimbingan tingkah laku, pembinaan prilaku, dan pembentukan sikap. Akhirnya, dalam bab 4 penulis akan mendiskusikan fakta bahwa wacana etika seperti ini, tidak hanya terbatas pada pengetahuan Normatif mengenai baik dan buruk tapi lebih umum dan universal.
Penulis mengklaim bahwa perbedaan-perbedaan dan persamaan-persamaan antara kedua tokooh tersebut sangat perlu untuk diteliti dan dikaji dengan seksama, bukan berarti mencari perbedaan-perbedaan dan persamaan-persamaan itu sendiri, tetapi lebih dari itu untuk melihat implikasi-implikasi dan konsekuensi-konsekuensinya dalam membangun sistem secara keseluruhan. Penulis menemukan bahwa penting untuk mengkaji konsepsi Al-Ghazali dan Kant tentang etika dari sudut pandang kritis.
Dalam kajian ini penulis mencoba menjelaskan ide-ide fundamental mengenai pemikiran etika kedua pemikir, yang melampaui batas-batas historis, kedaerahan, atau bahkan keagamaan. Atau dengan kata lain tanpa memandang agama, ras, dan nasionalitas mereka. Tapi bukan berarti menghapus aspek historis sama sekali karena tidak boleh tidak bahwa hal tersebut dapat mempengaruhi pemikiran mereka. Dalam hal ini penulis berbagi pandangan dengan Macintyre bahwa kajian tentang kajian-kajian fundamental tidak dapat dipisahkan dari sosiologi ataupun antropologi.
Disamping itu, ide-ide fundamental Al-Ghazali dan Kant tentang etika masih sering dikaji oleh masyarakat sampai sekarang. Oleh karena itulah penulis yakin bahwa sangat mungkin untuk mangadakan kajian komparatif dan pertentangan kritis antara dua filosof yang hidup dalam latar belakang historis yang berbeda.
Dalam penelitian ini, penulis mengikuti langkah dan prosedur Al-Ghazali secara kritis. Penulis mendiskusikan persoalan kausalitas dalam hubungannya dengan persoalan etika secara langsung sesudah mendiskusikan argumen Al-Ghazali dalam menolak doktrin metafisika rasional. Selanjutnya, akan mengelaborasi konsepsi etika Al-Ghazali, yang bercorak mistik. Selanjutnya penulis akan menelusuri prosedur Kant seperti yang dilakukan terhadap Al-Ghazali. kemudian penulis menggabungkan keduanya untuk menemukan perspektif baru tentang etika.
Penulis memulai dengan pembahasan tentang kritik A-Ghazali dan Kant terhadap metafisika-dogmatik-spekulatif untuk melihat kemungkinan mengontruksi teori etika mereka (Bab 2).
Kemudian mendiskusikan persoalan-persoalan yang muncul ketika teori etika mereka dikontruksikan berdasarkan basis kesadaran religius yang sama (Bab 3).
Setelah itu penulis akan mengungkapkan pengujian kritis terhadap kedua sistem etika ini untuk melihat relevansi dan keterandalan argumentasinya dipandang dari wacana etika yang tengah berkembang saat ini, yang menghubungkan secara ketat persoalan etika dengan persoalan bimbingan tingkah laku, pembinaan prilaku, dan pembentukan sikap. Akhirnya, dalam bab 4 penulis akan mendiskusikan fakta bahwa wacana etika seperti ini, tidak hanya terbatas pada pengetahuan Normatif mengenai baik dan buruk tapi lebih umum dan universal.
BAB III
PENUTUP
Setelah melakukan re-view terhadap disertasi berjudul Antara Al-Ghazali Dan Kant: Filsafat Etika Islam yang ditulis oleh M. Amin Abdullah, saya dapat memahami bahwa setiap manusia memiliki kekurangan dan kelebihan, tidak ada manusia yang sempurna. Karena, kesmpurnaan hanyalah milik realitas mutlak, kekuatan dibalik alam semesta termasuk manusia yaitu tuhan sang pencipta alam semesta besrta seluruh isinya.
Saya tidak pernah menyangka bahwa seorang Amin Abdullah mampu mengkritisi konsep “etika wahyu” sosok Imam Al-Ghazali (Hujjah al-Islam) seorang tokoh filosof besar yang juga menjadi panutan bagi panganut aliran sufisme sejak pada zamannya sampai sekarang. Dan juga mengkritisi konsep “etika rasional” Kant sebagai tokoh filosof “protestantisme” yang sangat berpengaruh di dunia barat dengan prosedur ilmiah yang cermat, teliti, kritis dan terperinci. Sehingga dapat menemukan perspektif baru tentang etika dengan menggabungkan antara “etika wahyu” dan “etika rasional”.
Dari sini saya dapat mengetahui bahwa “etika” merupakan kajian filsafat yang memerlukan pemikiran mendalam, agar bisa mendapatkan kebenaran. Akhirnya sebagai manusia yang tidak pernah lepas dari salah dan lupa, saya mohon maaf jika dalam penulisan review ini terdapat kesalahan. Oleh karena itu, bimbingan dan arahan dari para ahli sangat saya harapkan agar dapat memperbaiki kesalahan-kesalahan yang terjadi. Wallahu a’lam bis-showab…
Saya tidak pernah menyangka bahwa seorang Amin Abdullah mampu mengkritisi konsep “etika wahyu” sosok Imam Al-Ghazali (Hujjah al-Islam) seorang tokoh filosof besar yang juga menjadi panutan bagi panganut aliran sufisme sejak pada zamannya sampai sekarang. Dan juga mengkritisi konsep “etika rasional” Kant sebagai tokoh filosof “protestantisme” yang sangat berpengaruh di dunia barat dengan prosedur ilmiah yang cermat, teliti, kritis dan terperinci. Sehingga dapat menemukan perspektif baru tentang etika dengan menggabungkan antara “etika wahyu” dan “etika rasional”.
Dari sini saya dapat mengetahui bahwa “etika” merupakan kajian filsafat yang memerlukan pemikiran mendalam, agar bisa mendapatkan kebenaran. Akhirnya sebagai manusia yang tidak pernah lepas dari salah dan lupa, saya mohon maaf jika dalam penulisan review ini terdapat kesalahan. Oleh karena itu, bimbingan dan arahan dari para ahli sangat saya harapkan agar dapat memperbaiki kesalahan-kesalahan yang terjadi. Wallahu a’lam bis-showab…
0 Komentar:
Posting Komentar
Tuliskan komentar anda di sini!
semoga bermanfaat! Terimakasih.
Wassalam...