PEMUDA MUSLIM BAGAIMANA SEHARUSNYA…?

KH. Muhammad Idris Jauhari

Motto : Aku wasiatkan hendaknya kalian berbaik-baik dengan pemuda, karena mereka memiliki hati yang paling peka… (Al-Hadits)

Pengantar

            Hampir setiap orang sepakat bahwa masa muda, sebagai sebuah masa transisi, adalah simbol dari berbagai gejolak jiwa yang beraneka ragam dan cenderung bersifat kontradiktif ; seperti jiwa kepeloporan, rasa tidak puas pada semua yang serba establish/ mapan. Kepekaan, kegelisahan, semangat, dan gairah yang berlebihan, sikap skeptis/ masa bdoh, ingin mendapat perhatian, sikap cengeng dan kurang perhitungan dll.



            Kondisi kejwaan yang seringkali berkonotasi paradoks, labil dan inkonsisten ini disatu sisi memang kadang positif konstruktif dan disisi lain bersifat sering bersfat negative destrukti, tentu saja, sangat riskan untuk ditangani atau dihadapi secara serampangan, tapi juga sangat mubadzir untuk dibiarkan sebagai sebuah fenomena yang lewat begitu saja dalam kehidupan manusia. Masa ini adalah masa yang sangat sensitif dan riskan, sekaligus masa yang potensial, meaningfull dan signifikan.

            Karena itu tak heran jika masalah pemuda dan kepemudaan memang selalu menjadi topic yang menarik : tidak saja untuk digali atau dipahami esensi keberadaannya dalam periode kehidupan manusia, tapi juga untuk disikapi sesuai denga proposinya yang benar dan muqtadlol – hal. Dalam hal ini telah banyak para ahli yang mencoba melakukan analisis kritis terhadap masalah ini : baik lewat diskusi integral dari sudut pandang bermacam disiplin, maupun secara persial sesuai dengan kapasitas dan disiplin ilmu yang dikuasai masing-masing.

Identitas Diri

            Segala hal yang berhubungan denagn masalah pemuda dan kepamudaan denagn aneka ragam gejala dan gejolak kejiwaan yang serba paradoks dan kontradiktif ini, saya kira, pokok persoalannya kembali pada upaya awal mereka untuk mencari “identitas diri” dan menentukan “arah perjalanan” hidupnya lebih lanjut.

            Upaya mencari identitas diri (dalam arti mengenal siapa, apa, dari mana dan hendak kemana “saya”) adalah pekerjaan besar manusia yang harus dilakuakn secara terus menerus tanpa berhenti, dalam rangka mengenal Tuhan Pencipta-nya. Sekai manusia berhenti dalam upaya mengenal diri ini, berarti ia telah melakukan kesalahan sangat fatal dalam hidupnya, yang cenderung menjrus pada upaya menafikna dirinya sendiri sebagai makhluk Allah SWT. Diakui atau tidak, timbulnya krisis antar manusia, dekadensi moral, kejahatan dan lain-lain… sumber utamanya adalah “tidak tahu diri”. “ man arafa nafsahu fa qad arafa Rabbahu”.

            Pada masa-masa permulaan, identitas diri biasanya dibentuk lewat pengalaman yang dan penagruh lingkungan ( yang lebih banyak bersifat incidental ), serta upaya pendidikan yang sengaja diberikan kepada seseorang. Pengalaman, lingkungan dan pendidikan tersebut kemudian berakumulasi sebegitu rupa, membentuk sebuah kondisi yang sangat berpengaruh pada citra dan penampilan seseorang. Citra diri dan penampilan inilah kemudian yang membentuk identitas diri.

            Lama kelamaan, setelah identitas diri itu begitu kuat masuk dalam jiwa – apalagi jika kemudian menjadi kebanggaan dan sumber inspirasi bagi segala sikapnya, maka identitas diri itulah yang akan menyetir perjalanan hidup seseorang, membentuk pengalaman-pengalaman, serta mempengaruhi citra diri dan penampilannya. Dari sini, orang tidak akan bingung menentukan arah perjalanan hidupnya lebih lanjut.

            Nah, upaya mengenal diri yang sanagt vital ini biasanya baru dimulai secara serius pada saat seseorang memasuki periode kehidupan remaja (baca : Akil baligh). Jadi wajar-wajar saja kalau kemudian para pemuda (baca : remaja ) menjadi serba bingung, labil dan inkonsisten dlam hidupnya, sehingga timbul reaksi-reaksi kejiwaan seperti yang sudah kita kenal itu. Disinilah saya kira, letak urgensinya masa ini bagi perjalanan hidup manusia.

Mengapa timbul paradoksal ?Selain karena tuntutan pencarian identitas siri tadi, banyak juga factor-faktor eksternal  lainnya yang juga berpengaruh pada timbulnya kontrakdiksi dalam sikap dan perilaku kaum muda, antara lain bias dilihat dari dua dimensi :

1.      Dimensi Normatif, yang bersumber dari tiga kondisi, yaitu :
  • Adanya keridakpastian norma yang harus mereka patuhi, akibat Al-gagwul Fikri yang terus berkecamuk di tengah-tengah masyarakat.
  • Adanya perubahan norma-norma itu sendiri yang berlangsung begitu cepat dan kadang tidak menentu, sebagai salah satu konsekuensi dari kemajuan iptek.
  • Adanya kontradiksi yang seringkali sangat tajam antara norma-norma yang harus mereka ikuti di satu sisi, denagn tuntutan kebutuhan aktualisasi diri mereka atau dneagn kenyataan yang mereka saksikan sehari-hari, disisi yang lain.

2.      Dimensi kesenjangan generasi

Kondisi dan gejolak kejiwaan kaum muda seringali tidak dipahami oleh kaum tua, bahkan kurun wajtu dimana mereka hidup seringkali dibandng-bandingkan denagn kurun waktu sebelumnya yang tentu saja memilki dimensi waktu yang berbeda. Akibatnya apa yang diharapkan kaum tua seringkali sulit diterima dan dilaksanakan oleh kaum muda, kalau tidak justri menimbulkan konflik yang berkepanjangan jika masing-masing berusaha memaksakan kehendaknya.

Bagaimana Islam menjawab ?

            Sekarang. Bagaimana seharusnya kita, kaum muslimien bersikap dalam masalah ini ? Cukupkah kita menjadikan hasil para ahli, yng justru seringkali berangkat dari titik yang berbeda dengan kita, sebagai satu-satunya referensi ?

Untuk menjawab pertanyaan ini tanpa maksud apriori atau melecehkan hasil kajian dan teori-teori para ahli dalam bidang ini, rasanya tidak boleh tidak, kita harus berusaha untuk kembali mengacu pada pada sumber acuan utama kita, yaitu Al-Qur’an dan Al-hadist, serta hasil kajian para ahli kalangan ulama dan cedekiawan Islam sedniri.

            Tentu saja dalam hal ini, tidak ada salahnya jika kita juga berupaya untuk mrnjadikan hasil studi empiris diluar itu sebagai legimitator bagi validitas hasil kajian tersebut. Dalam hal ini kita tidak boleh bersikap terlalu percaya, menelan begitu saja dan meyakni suatu teori tanpa sikap kritis apapun, bahkan terjebak dalam sikap terkagum-kagum yang berlebihan, hanya karena mental, inferiority complex telah begitu kuat merasuk kedalam jiwa kita. Sebaliknya ita jugat idak boleh terlalu apriori, menolak apa saja karena dianggap tak sejalan dengan pola pikir, selera dan kondisi psychis kita saat itu.

            Dalam hadist yang disebutkan dalam motto diatas, Rasulullah SAW. Melanjutkan Sesungguhnya ketiak aku diutus memberi tabsyir dan tandzir, aku disambut dan diikuti oleh para pemuda, dan ditolak oleh orang-orang tua”. Kemudian beliau membaca surat Al-hadid ayat 16 : “… kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka, sehingga hati mereka menjadi keras”. Kiranya hadis ini cukup memberi bukti betapa Islam cukup memperhatikan masalah pemuda dan kepemudaan, serta berusaha meletakkannya secara proposional dan kontekstual.
Pemuda dalam Al-Qur’an   

            Kurang lebih ada tempat didalam Al-Qur’an, Allah SWT, menyebutkan kata “FATA = pemuda dalam berbagai konteks. Hanya saja secara implicit, dalam surat Al-Kahfi ayat 9-26, Allah SWT. menceritakan kisah Ashabul Kahfi (penghuni gua) denagn mengangkat sikap mental, pola hdup, keberanian, dan keteguhan hati beberapa “FITYAH” (jama’ dari Fata yang berarti pemuda) dalam menyikapi berbagai ketimpangan yang terjadi ditengah-tengah masyarakat saat ini.

            Sebagai sebuah kisah yang diangkat dari fenomena masa lalu, dan secara khusus diabadian oleh Allah SWT. dalam kitab suci-Nya, kita yankin dibalik yang tersurat suatu maksud yang harus mampu kita tangkap dan serap bi ‘ainil bashirah. Kita dituntut untuk mampu menangkap ‘ibrah dan hikmah yang multi dimensional bagi eksistensi pemuda dan peranannya saat ini, khususnya yang berhubungan denagn akidah (keimanan ), mabadiul hayat (nilai-nilai hdup), dan manahijul fikri (pola pikir). Untuk itu, tentu saja diperlukan studi dan pengkajian yang mendalam oleh para pakar di bidangnya.

            Sekedar ilustrasi, tidak ada salahnya kalau saya mencoba menuliskan ayat 13 dan 14 surat Al-kahfi yang menegaskan tentang beberapa sifat dan sikap yang dimiliki oleh para pemuda Ashabul kahfi : “ Sesungguhnya mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereak, dan akmi tambahkan kepada mereka petunjuk, dan Kami telah meneguhkan/mengikat hati mereka pada saat berdiri tegak (dihadapan raja yang Decius yang zalim) seraya berkata : “ Tuhan kami adalah Tuhan langit dan bumi, kami tidaklah sekali-kali menyeru tuhan selain Dia. Sebab jika demikian berarti kita telah mengucapkan kata yang jauh dari kebenaran”.

            Tanpa maksud menjadi seorang mufassiratau ingin mereka-reka barangkali bias disimpulkan bahwa ada lima sifat utama yang mereka miliki “
  • Keteguhan akidah dan adanya hidayah Allah.
  • Keberanian memikul resiko dan tanggungjawab.
  • Kesatuan hati yang kokoh dan diikat oleh tali Allah.
  • Adanya wadah yang berfungsi sebagai benteng.
  • Strategi yang tepat dan proporsional.
Barangkali 5 sifat inilah yang semestinya dimiliki oleh pemuda-pemuda muslim sekarang dalam rangka memainkan peranannnya yang lebih berarti ditengah-tengah masnyarakat, terutama dalam prospektif keislaman dan keindonesiaan. Dan semuanya itu bias dilaksanakan antara lain dengan cara-cara membantu mereka dalam mencari identitas dirinya, lewat pengalaman, lingkunagn dan pendidikan islami se awal mungkin. Selain itu mereka harus diberi kesempatan seluas-luasnya untuk melakukan aktualisasi diri sesuai dengan perkembangan fisik, intelektual dan psychisnya, selama masih dan konteks identitas diri itu.

Begitulah, mudah-mudahan besar manfaatnya, Amien!

0 Komentar:

Posting Komentar

Tuliskan komentar anda di sini!
semoga bermanfaat! Terimakasih.
Wassalam...