Masa-masa Ujian Muraja’ah ‘Aammah (Mid Semester I) di sebuah pesantren telah berlalu sejak hari Ahad, 13 Desember 2009 yang lalu ditandai dengan Sujud Syukur besama di Masjid Jami’ Pesantren tersebut. Secara resmi, kegiatan belajar mengajar (KBM) telah dibuka pada keesokan harinya Senin, 14 Desember 2009 oleh Direktur Pesantren tersebut. Seharusnya, setelah pembukaan tersebut berlalu, santri (murid) sudah siap untuk menghadapi KBM dan menerima pelajaran sebagaimana mestinya seperti hari-hari sebelumnya.
Namun, realitasnya sungguh berbeda – sangat disayangkan – karena pada waktu itu, ketika saya masuk kelas hendak mengajar sesuai jadwal yang telah ditetapkan oleh bagian pengajaran dan telah berjalan normal sebagaimana mestinya, ternyata para santri tidak ada yang siap untuk itu, hal tersebut dapat diketahui dari kondisi kelas pada waktu itu. Terlihat tidak ada satupun santri yang membawa buku/kitab sesuai dengan jadwal. Ketika saya tanya mereka perihal tidak membawa buku tersebut, mereka menjawab “tidak/belum siap menerima pelajaran baru”. Mereka para santri beralasan ingin beristirahat dari kegiatan memeras otak, ingin nyantai dan tidak perlu belajar.
Mendengar jawaban tersebut saya hanya bisa tersenyum geli dan sedikit memberikan masukan tentang pentingnya belajar. Kemudian saya masuk dan mengisi kelas dengan membahas soal-soal yang telah diujikan dan memberikan jawaban-jawabannya kepada santri. Hal tersebut saya lakukan agar para santri bisa mengetahui dan menyadari tingkat kemampuan dirinya dalam menangkap ilmu yang telah dipelajari selama sekitar tiga bulan lamanya. Sehingga para santri bisa menjadi lebih baik dan membenahi kesalahan-kesalahan dari jawaban-jawaban mereka untuk dirinya sendiri tanpa merubah ‘nilai’ yang telah diperoleh dari ujian beberapa hari sebelumnya.
Berangkat dari fenomena di atas, saya bertanya-tanya: “Apakah ujian kali ini bisa dikatakan sukses?”. Sebelum menjawab itu sebaiknya kita ketahui terlebih dahulu fungsi dari ujian itu sendiri. Ujian merupakan alat pendidikan, sehingga segala hal yang berhubungan dengan ujian tidak boleh lepas dari konteks pendidikan. Maka ujian di sini lebih berfungsi sebagai Tes Prestasi (Achievement Test) dengan tujuan utama agar para santri (murid) bisa belajar lebih baik (Al-Imtihan Lit-Ta’allum).
Dari uraian di atas, dapat kita ketahui bahwasannya dengan ujian diharapkan agar santri (sebagai peserta ujian) dapat menjadi lebih baik khususnya dalam hal belajar. Sehingga dengan demikian mereka dapat terangkat dari kehinaan dan menjadi lebih mulia. Karena dengan ujian dapat diketahui apakah orang itu ‘Peserta Ujian’ mulia atau hina (Bil Imtihani Yukromul Mar U Au Yuhaanu). Akhirnya, saya berharap semoga apa yang telah terjadi di dalam kelas tadi tidak menjadi indikasi bahwa anak-anakkk ‘para santri’ tidak menjadi lebih baik melainkan hanyalah sekedar memang mereka sedang membutuhkan refresh otak agar tidak panas sehingga dapat dipergunakan dengan lebih baik pada masa-masa mendatang.
Namun, realitasnya sungguh berbeda – sangat disayangkan – karena pada waktu itu, ketika saya masuk kelas hendak mengajar sesuai jadwal yang telah ditetapkan oleh bagian pengajaran dan telah berjalan normal sebagaimana mestinya, ternyata para santri tidak ada yang siap untuk itu, hal tersebut dapat diketahui dari kondisi kelas pada waktu itu. Terlihat tidak ada satupun santri yang membawa buku/kitab sesuai dengan jadwal. Ketika saya tanya mereka perihal tidak membawa buku tersebut, mereka menjawab “tidak/belum siap menerima pelajaran baru”. Mereka para santri beralasan ingin beristirahat dari kegiatan memeras otak, ingin nyantai dan tidak perlu belajar.
Mendengar jawaban tersebut saya hanya bisa tersenyum geli dan sedikit memberikan masukan tentang pentingnya belajar. Kemudian saya masuk dan mengisi kelas dengan membahas soal-soal yang telah diujikan dan memberikan jawaban-jawabannya kepada santri. Hal tersebut saya lakukan agar para santri bisa mengetahui dan menyadari tingkat kemampuan dirinya dalam menangkap ilmu yang telah dipelajari selama sekitar tiga bulan lamanya. Sehingga para santri bisa menjadi lebih baik dan membenahi kesalahan-kesalahan dari jawaban-jawaban mereka untuk dirinya sendiri tanpa merubah ‘nilai’ yang telah diperoleh dari ujian beberapa hari sebelumnya.
Berangkat dari fenomena di atas, saya bertanya-tanya: “Apakah ujian kali ini bisa dikatakan sukses?”. Sebelum menjawab itu sebaiknya kita ketahui terlebih dahulu fungsi dari ujian itu sendiri. Ujian merupakan alat pendidikan, sehingga segala hal yang berhubungan dengan ujian tidak boleh lepas dari konteks pendidikan. Maka ujian di sini lebih berfungsi sebagai Tes Prestasi (Achievement Test) dengan tujuan utama agar para santri (murid) bisa belajar lebih baik (Al-Imtihan Lit-Ta’allum).
Dari uraian di atas, dapat kita ketahui bahwasannya dengan ujian diharapkan agar santri (sebagai peserta ujian) dapat menjadi lebih baik khususnya dalam hal belajar. Sehingga dengan demikian mereka dapat terangkat dari kehinaan dan menjadi lebih mulia. Karena dengan ujian dapat diketahui apakah orang itu ‘Peserta Ujian’ mulia atau hina (Bil Imtihani Yukromul Mar U Au Yuhaanu). Akhirnya, saya berharap semoga apa yang telah terjadi di dalam kelas tadi tidak menjadi indikasi bahwa anak-anakkk ‘para santri’ tidak menjadi lebih baik melainkan hanyalah sekedar memang mereka sedang membutuhkan refresh otak agar tidak panas sehingga dapat dipergunakan dengan lebih baik pada masa-masa mendatang.
1 Komentar:
salam sobat
iya dengan ujian
membuat para peserta ujian menjadi lebih baik.
trims mas MAHMUD kunjungan dan doanya.
Posting Komentar
Tuliskan komentar anda di sini!
semoga bermanfaat! Terimakasih.
Wassalam...