A. KONTEKS DAN FOKUS
Studi ini bertujuan untuk menyusun sebuah “pembacaan” Al-Qur’an yang bermakna bagi kehidupan perempuan di era modern. Yang dimaksud Wadud dengan “pembacaan” disini adalah proses mengkaji kata-kata dan konteksnya dalam rangka menarik pemahaman atas teks Al-Qur’an. Setiap “pembacaan”, sebagiannya, merefleksikan maksud dari teks Al-Qur’an dan “prateks (prior text)” dari orang yang melakukan “pembacaan”.
Studi ini dilatarbelakangi oleh ketidakpuasan Wadud terhadap penafsiran Al-Qur’an secara konvensional yang dianggap subyektif berdasarkan pengalaman laki-laki. Ia juga meragukan, mengapa Al-Qur’an. Pada beberapa kesempatan, menyebutkan laki-laki dan perempuan (mukminin dan mukminat) sedangkan pada kesempatan lain menggunakan bentuk yang lebih umum (wahai mukminin…). Menurut Wadud, setiap penggunaan bentuk jamak maskulin dalam Al-Qur’an dimaksudkakn untuk mencakup baik laki-laki maupun perempuan, dua-duanya, kecuali jika penggunaan itu mencakup indikasi khusus bahwa ia hanya berlaku untuk laki-laki.
B. ACUAN TEORI DAN TELAAH PUSTAKA
Dalam karyanya ini, Wadud menggunakan terjemahan Al-Qur’an karya Muhammad Marmaduke Picthall, The Glorious Qur’an: Teks and Translation. Namun ia juga sedikit merubah sendiri terjemahan yang sekiranya kurang pas, ia juga mengganti istilah-istilah kuno dengan istilah modern. Sekali-kali ia juga menggunakan terjemahan Abdullah Yusuf Ali dalam The Holy Qur’an: Text, Translation, and Commentary.
C. PROSEDUR METODOLOGI
Dalam mengkaji teks Al-Qur’an, Wadud menggunakan metode dan perspektifnya sendiri tentang perempuan, sehingga akan menghasilkan kesmpulan baru berbeda dengan kesimpulan yang dihasilkan dari penafsir konvensional.
Menurut Wadud (2006, 16), tidak ada metode penafsiran Al-Qur’an yang benar-benar obyektif. Setiap mufassir menetapkan beberapa pilihan subyektif. Uraian tafsir mereka sebagian mencerminkan pilihan subyektif itu dan tidak selalu mencerminkan maksud dari teks yang mereka tasirkan. Wadud mengelompokkan tafsir-tafsir tentang perempuan dalam Al-Qur’an menjadi tiga kategori, yaitu: tradisional, reaktif, dan holistik.
Tafsir tradisional, karya-karya tafsir-tafsir tradisional di era klasik maupun modern memberikan penafsiran atas seluruh isi Al-Qur’an dengan penekanan tertentu. Karya ini dimulai dari pertama, kedua dan seterusnya tanpa upaya mengenali tema-tema dan membahas hubungan diantara ayat-ayat Al-Qur’an secara tematis. Ulasan singkat tentang hubungan antara ayat yang satu dengan yang lainnya dianggap diberikan secara asal-asalan, tanpa menerapkan prinsip-prinsip hermeneutika. Wadud juga prihatin terhadap karya tafsir tradisional yang hanya ditulis oleh laki-laki, yang berarti juga bahwa penafsiran didasarkan pada pengalaman, visi, perspektf, kehendak dan kebutuhan laki-laki dengan menafikan perempuan.
Tafsir reaktif, penafsiran perempuan atas reaksi para sarjana modern terhadap keterpasungan perempuan sebagai individu dan anggota mayarakat yang dilekatkan dengan Al-Qur’an. Dalam tafsir inilah banyak perempuan dan/atau orang yang menentang pesan yang dibawa oleh Al-Qur’an. Reaksi-reaksi mereka dianggap tidak mampu membedakan antara penafsiran dan teks Al-Qur’an.
Tafsir holistik, penafsiran yang mempetimbangkan ulang semua metode tafsir Al-Qur’an menyangkut berbagai bidang. Dalam kategori inilah Wadud menempatkan karyanya. Kategori ini dianggap relatf baru dan belum ada tafsir yang secara khusus membahas tentang isu perempuan dari sudut pandang keseluruhan Al-Qur’an dan prnsip-prinsip utamanya.
Di sini Wadud menyusun “pembacaan” Al-Qur’an berdasarkan pengalaman perempuan dan tanpa melibatkan stereotipe yang sudah menjadi kerangka pemikiran laki-laki. Sehingga pembacaan ini akan kontra dengan kesimpulan-kesimpulan yang sudah ada sebelumnya mengenai pokok bahasan ini. Ia menganalisis teks Al-Qur’an, bukan tafsirnya, maka caranya memperlakukan isu tersebut berbeda dengan kebanyakan karya yang telah membahas topik ini.
Sedangkan metodologi yang ia pakai dalam mengkaji Al-Qur’an adalah dengan metode hermeneutika. Penguat kesimpulan-kesimpulandari sebuah model hermeneutic terkait dengan tiga aspek, yaitu: 1. konteks saat teks ditulis, 2. komposisi gramatikal gramatikal teks, 3. teks secara keseluruhan, yakni weltanschauung atau pandangan dunianya.
Wadud menentang penafsiran konvensional, khususnya mengenai kata-kata tertentu yang digunakan Al-Qur’an untuk membahas dan menyampaikan petunjuk universal. Ia lebih memilih untuk menggunakan metode penafsiran Al-Qur’an yang dikemukakan oleh Fazlur Rahman. Dia menganjurkan agar semua ayat, yang diturunkan pada titik waktu sejarah tertentu dan dalam suasana umum dan khusus tertentu, diungkap menurut waktu dan suasana penurunannya.
Semua ayat yang mengandung perujukan pada perempuan, secara terpisah maupun bersama-sama dengan laki-laki, akan dianalisis dengan metode tradisional tafsir Al-Qur’an bi Al-Qur’an (Penafsiran Al-Qur’an dengan Al-Qur’an). Setiap ayat akan dianalisis 1. menurut konteksnya, 2. menurut konteks pembahasan topik-topik yang sama dalam Al-Qur’an, 3. dari sudut bahasa dan struktur sintaksis yang sama yang digunakan di tempat lain dalam Al-Qur’an, 4. dari sudut prinsip Al-Qur’an yang menolaknya, dan 5. menurut konteks weltanschauung atau pandangan dunia Al-Qur’an.
Salah satu elemen khas dari pembacaan dan pemahaman teks apapun adalah prateks dari pembaca perseorangan: bahasa dan konteks budaya tempat teks dibaca. Prateks menambah banyak sekali perspektif dan kesimpulan dalam penafsiran. Untuk menghindari kemungkinan relativisme, kita dapat berpegang pada kontinuitas dan keabadian yang terdapat dalam teks Al-Qur’an sendiri, sebagaimana tergambar dalam titik temu-titik temu kesimpulan dari beragam penafsiran.
Menurutnya, derajat antara perempuan dan laki-laki itu sama, tidak ada yang lebih unggul dianataranya, yang membedakan cuma tingkat ketaqwaannya. Al-Qur’an tidak berusaha menafikan perbedaan antara laki-laki dan perempuan atau menghapuskan signifikansi fungsional pembedaan jender. Al-Qur’an mengakui peran laki-laki dan perempuan sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat.
Selain menganalisis jender menurut bahasa arab Al-Qur’an, ia juga menganalisis kata-kata kunci dan ungkapan tertentu yang berhubungan dengan manusia pada umumnya dan perempuan pada khususnya, untuk mengungkapkan pemahaman kontekstual.
Studi ini bertujuan untuk menyusun sebuah “pembacaan” Al-Qur’an yang bermakna bagi kehidupan perempuan di era modern. Yang dimaksud Wadud dengan “pembacaan” disini adalah proses mengkaji kata-kata dan konteksnya dalam rangka menarik pemahaman atas teks Al-Qur’an. Setiap “pembacaan”, sebagiannya, merefleksikan maksud dari teks Al-Qur’an dan “prateks (prior text)” dari orang yang melakukan “pembacaan”.
Studi ini dilatarbelakangi oleh ketidakpuasan Wadud terhadap penafsiran Al-Qur’an secara konvensional yang dianggap subyektif berdasarkan pengalaman laki-laki. Ia juga meragukan, mengapa Al-Qur’an. Pada beberapa kesempatan, menyebutkan laki-laki dan perempuan (mukminin dan mukminat) sedangkan pada kesempatan lain menggunakan bentuk yang lebih umum (wahai mukminin…). Menurut Wadud, setiap penggunaan bentuk jamak maskulin dalam Al-Qur’an dimaksudkakn untuk mencakup baik laki-laki maupun perempuan, dua-duanya, kecuali jika penggunaan itu mencakup indikasi khusus bahwa ia hanya berlaku untuk laki-laki.
B. ACUAN TEORI DAN TELAAH PUSTAKA
Dalam karyanya ini, Wadud menggunakan terjemahan Al-Qur’an karya Muhammad Marmaduke Picthall, The Glorious Qur’an: Teks and Translation. Namun ia juga sedikit merubah sendiri terjemahan yang sekiranya kurang pas, ia juga mengganti istilah-istilah kuno dengan istilah modern. Sekali-kali ia juga menggunakan terjemahan Abdullah Yusuf Ali dalam The Holy Qur’an: Text, Translation, and Commentary.
C. PROSEDUR METODOLOGI
Dalam mengkaji teks Al-Qur’an, Wadud menggunakan metode dan perspektifnya sendiri tentang perempuan, sehingga akan menghasilkan kesmpulan baru berbeda dengan kesimpulan yang dihasilkan dari penafsir konvensional.
Menurut Wadud (2006, 16), tidak ada metode penafsiran Al-Qur’an yang benar-benar obyektif. Setiap mufassir menetapkan beberapa pilihan subyektif. Uraian tafsir mereka sebagian mencerminkan pilihan subyektif itu dan tidak selalu mencerminkan maksud dari teks yang mereka tasirkan. Wadud mengelompokkan tafsir-tafsir tentang perempuan dalam Al-Qur’an menjadi tiga kategori, yaitu: tradisional, reaktif, dan holistik.
Tafsir tradisional, karya-karya tafsir-tafsir tradisional di era klasik maupun modern memberikan penafsiran atas seluruh isi Al-Qur’an dengan penekanan tertentu. Karya ini dimulai dari pertama, kedua dan seterusnya tanpa upaya mengenali tema-tema dan membahas hubungan diantara ayat-ayat Al-Qur’an secara tematis. Ulasan singkat tentang hubungan antara ayat yang satu dengan yang lainnya dianggap diberikan secara asal-asalan, tanpa menerapkan prinsip-prinsip hermeneutika. Wadud juga prihatin terhadap karya tafsir tradisional yang hanya ditulis oleh laki-laki, yang berarti juga bahwa penafsiran didasarkan pada pengalaman, visi, perspektf, kehendak dan kebutuhan laki-laki dengan menafikan perempuan.
Tafsir reaktif, penafsiran perempuan atas reaksi para sarjana modern terhadap keterpasungan perempuan sebagai individu dan anggota mayarakat yang dilekatkan dengan Al-Qur’an. Dalam tafsir inilah banyak perempuan dan/atau orang yang menentang pesan yang dibawa oleh Al-Qur’an. Reaksi-reaksi mereka dianggap tidak mampu membedakan antara penafsiran dan teks Al-Qur’an.
Tafsir holistik, penafsiran yang mempetimbangkan ulang semua metode tafsir Al-Qur’an menyangkut berbagai bidang. Dalam kategori inilah Wadud menempatkan karyanya. Kategori ini dianggap relatf baru dan belum ada tafsir yang secara khusus membahas tentang isu perempuan dari sudut pandang keseluruhan Al-Qur’an dan prnsip-prinsip utamanya.
Di sini Wadud menyusun “pembacaan” Al-Qur’an berdasarkan pengalaman perempuan dan tanpa melibatkan stereotipe yang sudah menjadi kerangka pemikiran laki-laki. Sehingga pembacaan ini akan kontra dengan kesimpulan-kesimpulan yang sudah ada sebelumnya mengenai pokok bahasan ini. Ia menganalisis teks Al-Qur’an, bukan tafsirnya, maka caranya memperlakukan isu tersebut berbeda dengan kebanyakan karya yang telah membahas topik ini.
Sedangkan metodologi yang ia pakai dalam mengkaji Al-Qur’an adalah dengan metode hermeneutika. Penguat kesimpulan-kesimpulandari sebuah model hermeneutic terkait dengan tiga aspek, yaitu: 1. konteks saat teks ditulis, 2. komposisi gramatikal gramatikal teks, 3. teks secara keseluruhan, yakni weltanschauung atau pandangan dunianya.
Wadud menentang penafsiran konvensional, khususnya mengenai kata-kata tertentu yang digunakan Al-Qur’an untuk membahas dan menyampaikan petunjuk universal. Ia lebih memilih untuk menggunakan metode penafsiran Al-Qur’an yang dikemukakan oleh Fazlur Rahman. Dia menganjurkan agar semua ayat, yang diturunkan pada titik waktu sejarah tertentu dan dalam suasana umum dan khusus tertentu, diungkap menurut waktu dan suasana penurunannya.
Semua ayat yang mengandung perujukan pada perempuan, secara terpisah maupun bersama-sama dengan laki-laki, akan dianalisis dengan metode tradisional tafsir Al-Qur’an bi Al-Qur’an (Penafsiran Al-Qur’an dengan Al-Qur’an). Setiap ayat akan dianalisis 1. menurut konteksnya, 2. menurut konteks pembahasan topik-topik yang sama dalam Al-Qur’an, 3. dari sudut bahasa dan struktur sintaksis yang sama yang digunakan di tempat lain dalam Al-Qur’an, 4. dari sudut prinsip Al-Qur’an yang menolaknya, dan 5. menurut konteks weltanschauung atau pandangan dunia Al-Qur’an.
Salah satu elemen khas dari pembacaan dan pemahaman teks apapun adalah prateks dari pembaca perseorangan: bahasa dan konteks budaya tempat teks dibaca. Prateks menambah banyak sekali perspektif dan kesimpulan dalam penafsiran. Untuk menghindari kemungkinan relativisme, kita dapat berpegang pada kontinuitas dan keabadian yang terdapat dalam teks Al-Qur’an sendiri, sebagaimana tergambar dalam titik temu-titik temu kesimpulan dari beragam penafsiran.
Menurutnya, derajat antara perempuan dan laki-laki itu sama, tidak ada yang lebih unggul dianataranya, yang membedakan cuma tingkat ketaqwaannya. Al-Qur’an tidak berusaha menafikan perbedaan antara laki-laki dan perempuan atau menghapuskan signifikansi fungsional pembedaan jender. Al-Qur’an mengakui peran laki-laki dan perempuan sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat.
Selain menganalisis jender menurut bahasa arab Al-Qur’an, ia juga menganalisis kata-kata kunci dan ungkapan tertentu yang berhubungan dengan manusia pada umumnya dan perempuan pada khususnya, untuk mengungkapkan pemahaman kontekstual.
0 Komentar:
Posting Komentar
Tuliskan komentar anda di sini!
semoga bermanfaat! Terimakasih.
Wassalam...